Blog
ini ditujukan hanyalah untuk berbagi..
berbagi hal yang belum sempat terucapkan lewat kata-kata dan tertumpahkan dengan tulisan,,

Memulai jejak dalam sebuah tulisan.
Menorehkan tinta sejarah hingga ia dikenal nyata.

Sejarah kehidupan dalam sebuah bingkai.
Melompati setiap ekstase dengan semangat menyala.

Walau terkadang lampu - lampu jalanan turut menghiasi medan menuju setiap tahap kemenangan, pengharapan dan sebuah pembelajaran tentang Kebijaksanaan.

Semua tertuang untuk sebuah cerita.
Cerita hidup yang aku, kau dan kita adalah pelaku setianya.
Hingga kemudian Cahaya gemilang itu mampu kau renggut, kau peluk dengan tanganmu.

Minggu, 08 April 2012

RUU Keadilan & Kesetaraan Gender. Solusi atau Masalah Baru?



Pro-kontra RUU ini sebenarnya sudah dirasakan sejak tahun 2010 lalu. Namun karena dalam membentuk Undang-undang diperlukan proses yang agak panjang, maka RUU ini belum masuk pada Prolegnas pada tahun 2010 lalu. Namun terlepas dari kapan ia mulai banyak dibincangkan, maka kita sendiri mesti paham dengan apa yang dibawa dan dibahas pada RUU ini.
RUU KKG alias Keadilan dan Kesetaraan Gender ini secara tersirat membahas mengenai pembatasan dan pemisahan kerja, kedudukan dalam hak individu, berkeluarga, dan bermasyarakat. Namun jika diperhatikan lagi kesalahan mendasar yang dapat ditangkap pertama sekali pada RUU KKG ini adalah dari pengertian akan gender itu sendiri. Dalam RUU KKG pengertian Gender adalah sebagai berikut, “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”
Jika dilihat dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa pembagian peran terhadap laki-laki dan perempuan ditentukan oleh budaya, dimana dapat dipertukarkan, sifatnya tidak tetap, dan mampu berubah seiring dengan trend zaman dan paham budaya yang mempengaruhinya. Tak ayal jika dengan adanya Undang-undang ini kelak maka adat ketimuran dapat tergantikan dengan seluas dan sebebasnya dengan adat Barat yang notabenenya berbeda pada khazanah ideology Negara Pancasila.
Sebenarnya dari judul juga adanya ketidak-sinkronisasian terhadap apa yang akan dicapai. Jika mengaitkan tentang kesetaraan gender, tentulah mesti adanya perbedaan juga persamaan yang jelas pada segi pembahasan. RUU ini pun dapat dikatakan cenderung seksisme. Dimana hanya terkhusus bagi kalangan perempuan saja. Ia tak lagi bersifat netral. Gender hanya dikhususkan untuk “membela” kepentingan kaum elitis perempuan. Ia tidak lagi dipahami sebagai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Konsep keadilan yang dibawa bukan terhadap laki-laki dan perempuan, melainkan hanya digunakan untuk memerangi ketidakadilan pada perempuan.
Terlepas dari pengkhususan pembahasan, yang ingin dicapai disini sesungguhnya adalah kesetaraan dan persamaan peran laki-laki dan perempuan dalam ranah publik. Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa “…perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% dalam hal keterwakilan di legislative, eksekutif, yudikatif dan berbagai lembaga pemerintahan nonkementerian, nonpemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional”. Hal ini tentulah menyiratkan bahwa perempuan “dipaksa” untuk menduduki kursi pemerintahan sekurang-kurangnya 30 %. Tentulah akan menjadi tidak sejalan dengan peran mendasar wanita sebagai tiang negara, sebagai pendidik, sebagai motivator terbaik bagi generasi penerus bangsa jika pada hakikatnya ruang public dipenuhi yang katanya kesamaan peran sedangkan rumah-rumah mereka kosong dengan kasih sayang dan didikan penuh orang tua.
Jadilah generasi yang kelak memisahkan antara kewajiban antara orang tua dan anak. Kehidupan akan menjadi sebebas-bebasnya. Anak memiliki hak prerogativenya sendiri dalam menentukan apa yang ia inginkan dan lakukan. Didikan akhlak bisa jadi dianggap sebagai pemaksaan dalam memilih hidup. Kehidupan bebas menggaung dimana-mana. Kehidupan bebas dan tidak adanya ikatan hati antara orang tua dan anak menyebabkan nasib kalangan wanita tua menjadi begitu malang. Ia akan ditinggalkan pasangannya karena dianggap tak menarik lagi, dan disaat yang bersamaan ditinggal pergi anaknya yang sibuk dengan urusan masing-masing. Inilah yang terjadi pada dunia saat ini, dimana panti jompo dipenuhi dengan wanita-wanita tua yang menghabiskan sisa umurnya tanpa kasih sayang dari anak-anak mereka.
Jika boleh melihat konsep hubungan antara orang tua dan anak, ibu khususnya dalam Islam. Maka kita akan menemukan sebuah aturan dan tatanan yang indah. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang sama terhadap kedua orang tua mereka. Menaati, menghormati dan menuruti perintah mereka selagi masih dalam koridor Allah. Bahkan dalam hadistnya, Rasulullah menyebutkan kata Ibu sampai tiga kali baru kemudian Ayah dalam hal siapa yang mesti ditaati terlebih dahulu. Anak-anak juga mesti memerlakukan kedua orang tua mereka dengan penuh hormat dan kasih sayang, serta mendoakan kedua orang tua mereka baik dalam keadaan hidup maupun meninggal dunia.
Melihat kepentingan yang tersirat dalam RUU KKG ini, jelaslah bahwa kaum feminis liberal memandang status seorang ibu rumah tangga sebagai status yang kuno, tidak modern, tertindas dan ketinggalan. Mereka memandang perempuan sebagai sosok yang mesti mengeksploitasi tubuh dan dirinya seluas-luasnya. Oleh karena itu, seorang perempuan feminis lebih rela mengaborsi kandungannya daripada menajdi seorang ibu. Lebih rela kehilangan ruh yang telah tertanam dalam rahim daripada tubuh indahnya. Centers for Disease Control menyebutkan bahwa tahun 200-2005 telah terjadi aborsi yang mencapai angka 850ribu. Ini baru data secara legal, belum yang illegal alias secara diam-diam.
Keinginan yang salah dan mudah dimanfaatkan dari perempuan yang tidak menginginkan status ke-Ibu-an pada dirinya, membuat bangsa kehilangan banyak generasi-generasi hebatnya. Tentunya ini tidak sejalan dengan pembangunan bangsa yang arif dan bermartabat di Negara yang menjunjung tinggi Kemanusiaan yang adil dan beradab ini.
Mengoreksi kembali pembahasan yang dibawakan oleh RUU KKG, mengapa kemudian tidak berfokus pada masalah peningkatan kesejahteraan perempuan saja. Seperti misalnya pemberantasan masalah Human Trafficking dan rehabilitasi kesehatan mental para korban, memperbanyak tersedianya ruang menyusui bagi ibu di mal-mal, terminal, tempat kerja, dan fasilitas public lainnya, memberikan cuti hamil dan melahirkan yang proposional dan sesuai dengan kebutuhan ibu, menyediakan persalinan yang aman, sehat dan mudah, dll (H. Shalahudin, 2012) dibandingkan dengan merombak peran dasar yang sudah diatur antara laki-laki dan perempuan dalam Islam.
Lihatlah para Ibu-ibu di Negara bagian Eropa tengah, mereka tidak tunduk dengan kepentingan perusahaan-perusahaan internasional yang beroperasi di negaranya. Disana mereka mendapatkan standar cuti hamil tiga tahun untuk setiap anak. Gaji selama masa cuti hamil dibayar dan ditanggung oleh majikan dan Negara (wikipedia/_parental-leave). Ya meski kemudian pembuatan kebijakan yang dirasa tak sebanding dengan Negara yang bergerak maju seperti Eropa dengan Negara kita yang dipenuhi dengan kasus-kasus pencurian uang Negara yang tak pernah selesai.
Dalam RUU KKG hanya dimasukkan asas kemanusiaan, persamaan substantive, nondiskriminatif, manfaat, pertisipatif, transparansi, dan akuntabilitas. Tanpa asas agama sekalipun. Maka bersiap-siaplah kita yang Muslim dipenjara Karena menjalankan syari’at Islam terkait dengan ketidaksamaan dalam masalah pembagian warisan, aqiqah, khatib Jum’at, menikah dengan yang seiman, saksi nikah, dll.
Tentunya harapan kita kemudian agar orang-orang yang dipilih, bukan dilotre diruang DPR RI itu, mengindahkan asas keTuhanan dan bangsa yang adil dan beradab. Benar-benar sadar dan membuka mata pada tujuan hidup yang tak hanya sebatas kenikmatan duniawi, namun juga pertanggungjawaban ukhrawi.  
Wallahu’alam bishowab.




Ruko Asy Syifa, Indralaya, 8 April 2012..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar