Blog
ini ditujukan hanyalah untuk berbagi..
berbagi hal yang belum sempat terucapkan lewat kata-kata dan tertumpahkan dengan tulisan,,

Memulai jejak dalam sebuah tulisan.
Menorehkan tinta sejarah hingga ia dikenal nyata.

Sejarah kehidupan dalam sebuah bingkai.
Melompati setiap ekstase dengan semangat menyala.

Walau terkadang lampu - lampu jalanan turut menghiasi medan menuju setiap tahap kemenangan, pengharapan dan sebuah pembelajaran tentang Kebijaksanaan.

Semua tertuang untuk sebuah cerita.
Cerita hidup yang aku, kau dan kita adalah pelaku setianya.
Hingga kemudian Cahaya gemilang itu mampu kau renggut, kau peluk dengan tanganmu.

Minggu, 05 Desember 2010

SURAT CINTAKU UNTUKMU YANG KUCINTAI, DEWAN KEHORMATAN, PARA WAKIL RAKYAT


Ketika ditanyakan dengan apa aku menulis ini semua. Maka aku akan menjawab dengan air mata. Tidak hanya air mata yang bermuara pada pemilik tulisan ini, tapi berjuta-juta air mata diluar sana yang menuntut keadilan, menuntut kebenaran, mengambil haknya sebagai rakyat yang menggaji para penikmat kekuasaan.

Entah apa yang ada dipikiranmu saat ini, entah apa lagi yang kau kejar saat ini, mengaku pembela mengaku wakil. Mengaku penyampai aspirasi?? BOHONG!! Sekali lagi saya katakan itu BOHONG!

Kalau engkau mengaku berpihak pada rakyat, kalau engkau mengaku sang wakil rakyat, kalau engkau menghidupi diri dan keluargamu dengan uang rakyat. Lalu kenapa sampai saat ini kau masih sampai hati sakiti rakyat. Tahukah kau yang terjadi dibawah kakimu saat ini? Mungkin kau tak berniat ingin tahu, atau kau tahu tapi menutupi telingamu dengan headseat sutramu?

Yah, malam ini, mungkin kau sedang mendengarkan alunan music country atau dangdut country sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menikmati jamuan Italy dipinggir laut yang diiringi semilir lembut angin malam. Makananmu taraf internasional, yang tanpa kau sadari membuat perutmu semakin besar, semakin tak sehat, dipenuhi lemak dan kolestrol(ah, aku tak bermaksud menyinggung perutmu disini). Bahasamu bahasa sastra poitik tinggi, begitu luar biasa ketika rakyat awam seperti kami mendengarnya. Bagai corpus alineum (benda asing)ditelinga, tak ayal kemampuan Public speakingmu tingkat tinggi, sampai berkedip saja penuh arti. Ya, memang kau sosok luar biasa. Lewat kata-kata kau mampu menyihir segala, memberi harapan-harapan palsu, manis-manis kucing liar.

Aku tak sedang memujimu, aku hanya sedang prihatin dengan keadaanmu saat ini. Perutmu yang semakin membesar, rambutmu yang semakin memutih. Istrimu yang cantik dan anak-anakmu yang kau nafkahi. Tapi pernahkah kau menyadari, bahwa nafkah yang kau berikan kepada mereka adalah hasil sumpah, hasil kutukan rakyat yang muak akan segala janji-janji dan kesombonganmu. Apakah kau sadar, setiap uang yang dikeluarkan untuk membangunmu adalah uang rakyat? Uang sekelompok manusia yang kau asingkan, yang kau sakiti berulang-ulang kali??

Aku ingin sedikit berkisah denganmu, pada malam biasa, aku melewati daerah yang seringkali kulewati ketika hendak pulang kerumah, waktu itu di Jakarta, tempat temanku. Aku senang melihat hingar bingar malam Jakarta. Lampu berwarna-warni menghiasi dinding kota. Arus trafficking yang sangat padat, menandakan aktivitas yang tak berhenti dan terus 24 jam. Seketika menaiki jembatan penyeberangan, banyak sekali gelandangan terlantar, tidur beralaskan Koran. Tak mengapa jika ia pria gagah, sudah garis hidup menuntut ia giat bekerja. Tapi aku sedih dan menangis ketika seorang ibu dengan bayinya yang merah harus merasakan dinginnya malam karena tak berumah. Rumahnya sudah dijadikan gedung-gedung tinggi tanpa solusi. Ia diusir, dalam kerasnya kehidupan dan zaman. Jika masih seperti itu, lima tahun ke depan, anaknya akan menjadi sahabat setia jalanan. Diajarkan cinta ibu pertiwi dengan caranya. Ia tertawa, karena begitulah hidupnya, ia tak pernah tahu bagaimana seharusnya hidup mengajarkannya. Bagaimana seharusnya tempat yang layak untuk dirinya. Argh..

Atau kau tahu yang terjadi dengan teman-temanku, saat ia bersama-sama memperjuangkan wanita-wanita, anak-anak yang akan diperdagangkan keluar negeri. Seperti barang. Aku, mereka, dan semua yang tahu akan hal ini terkejut, karena ada campur tangamu dibalik ini semua.

Sama halnya dengan pendidikan dan kesehatan, atas nama kesejahteraan kau gadaikan rakyat. Hal yang pokok kau komersialisasikan. Berdalih dengan kata-kata dan kuasa, Neoliberal yang kau bawa sudah sangat Nampak di depan mata! Tapi aku sudah pasti mengira. Setiap pertanyaan, pendapat dan opini rakyat justru kau tertawakan. Kau malah berdalih dengan menyalahkan, seolah-olah kaulah yang paling hebat dan berkuasa. Kaulah yang paling pintar, padahal sesunguhnya kau telah dibodoh-bodohi dengan kekuasaan dan uang.

Mungkin kau akan berteriak kesana kemari, atau pura-pura sakit, atau mungkin pura-pura mati suri, saat tuduhan itu terbukti padamu. Apalagi yang akan kau kuras dari rakyat? Uangnya sudah sangat banyak kau ambil dan kau permainkan tanpa rasa tanggung jawab. Atau kau saat ini telah sadar? Sehingga merajuk-rajuk ingin study banding etika ke negeri Roma? Etikamu bukan pada sosok sehebat apapun diluarmu. Tapi pada dirimu sendiri, etikamu adalah hak prerogativemu. Etikamu adalah kewajibanmu pada rakyat. Mungkin hanya kursi yang kau tanam dalam hatimu. Pernahkan kau menangis dan memikirkan betapa beban dan amanahmu sebagai wakil rakyat adalah hal yang luar biasa yang dianugerahkan Tuhan padamu? Pernahkah kau menangis dalam shalatmu saat memikirkan rakyat-rakyatmu? Ah, mungkin dengan Tuhan pun kau mulai angkuh dan sombong, sehingga mudah bagimu untuk membohongi, menipu, mementingkan pribadi dan kekayaanmu. Lupa, lupa pada Penciptamu yang selalu melihatmu, mengawasimu, mengingatkanmu dan menegurmu saat kau lalai, egois, dan nakal? Memberikan nikmatNYA yang begitu berlimpah sehingga banyak yang mencemburuimu. Sungguh sayang, cintaNYA padamu kau hargai dengan cinta dunia. Oh, aku tak ingin berprasangka. Aku hanya ingin dan berdoa agar kau diberikan kelapangan hati, keteguhan jiwa, sikap dermawan, sikap mengayomi, sikap adil, bijaksana, sederhana, cerdas, berpihak pada rakyat. Tahukah, aku tak ingin muluk-muluk,jika pada kenyataannya kau tak mampu, setidaknya kau tidak melupakan rakyat dan Tuhanmu. Walaupun sesungguhnya aku begitu sedih,, karena harapan Umar, Abu Bakar, Ali, Muhammad tak pernah kulihat dalam dirimu. Aku sedih dan kecewa, walaupun aku tahu dan percaya. Allah, Tuhanku, Tuhanmu selalu ada, tak kan pernah tinggal diam, membimbing kau yang akan berevolusi menjadi tangan rakyat sejati? Atau kau hanya akan tinggal nama dalam sumpah dan kutukan, yang kemudian akan digantikan oleh generasi-generasi terbaik.

Wallahu’alam bishowab.