Blog
ini ditujukan hanyalah untuk berbagi..
berbagi hal yang belum sempat terucapkan lewat kata-kata dan tertumpahkan dengan tulisan,,

Memulai jejak dalam sebuah tulisan.
Menorehkan tinta sejarah hingga ia dikenal nyata.

Sejarah kehidupan dalam sebuah bingkai.
Melompati setiap ekstase dengan semangat menyala.

Walau terkadang lampu - lampu jalanan turut menghiasi medan menuju setiap tahap kemenangan, pengharapan dan sebuah pembelajaran tentang Kebijaksanaan.

Semua tertuang untuk sebuah cerita.
Cerita hidup yang aku, kau dan kita adalah pelaku setianya.
Hingga kemudian Cahaya gemilang itu mampu kau renggut, kau peluk dengan tanganmu.

Minggu, 28 Maret 2010

Pro-Kontra Dalam Pembentukan Badan Hukum Pendidikan


Sejauh ini, kritik atas Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan hanya sebatas dan terfokus pada konsekuensi atau akibat dari pemberlakuan BHP, bukan pada detail substansinya. Hal ini tentunya banyak menimbulkan ketimpangan di masyarakat secara umum yang tidak mengerti mengenai penyelenggaraan RUU BHP ini secara jelas.

Berbagai kontra dilayangkan untuk menghapuskan BHP ini pada sistem pendidikan di Indonesia. Oleh masyarakat umum, BHP dikhawatirkan mendorong privatisasi, menghilangkan eksistensi yayasan, menghindarkan pemerintah dari tanggung jawab pembiayaan. Meski dilatari upaya kritis, kekhawatiran ini, harus dikatakan, tidak berdasar!

Karena pada kenyataannya, dalam RUU BHP itu sendiri berisikan mengenai rincian alat-alat kelembagaan, struktural, dan kewenangan institusi pendidikan untuk bersikap mandiri dan otonom serta tidak tergantung pada pemerintah agar dapat bersaing secara global demi kemajuan negeri itu sendiri. Ia bersifat teknis dan tidak secara pokok menyinggung pengalihan tanggung jawab pembiayaan pendidikan. Penegasan pihak pemerintah, RUU BHP tak terkait pendanaan, kiranya sudah tepat.

Karena bila dilihat secara tekhnis dari Dikti, dalam RUU BHP, 2/3 dari keseluruhan biaya yang termasuk biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan sesuai standar pelayanan minimal ditanggung oleh pemerintah. Sedangkan peserta didik hanya membayar 1/3 dari biaya operasional.

Walaupun demikian, RUU BHP masih sarat persoalan. Karena belum memancarkan visi pembangunan pendidikan nasional sebagai infrastruktur proses perubahan masyarakat. Dan sebenarnya, persoalan utamanya adalah keringnya perspektif dalam melihat BHP sebagai otonomi pendidikan yang dapat membawa pendidikan secara global.

Kelemahan dari RUU BHP itu sendiri terletak pada sosialisasi kepada masyarakat serta ketimpangan dalam hal konsepsi makna dan peran lembaga pendidikan formal dalam dinamika masyarakat saat ini. Karena sesuai dengan fungsi awalnya, BHP merupakan badan yang dirancang demi pelayanan prima kepada peserta didik secara otonomi dan manajemen berbasis sekolah.

Namun sama sekali tidak diuraikan pada konteks masyarakat secara umum, seperti apakah otonomi pengelolaan organisasi pendidikan diperlukan serta alasan mengapa BHP dianggap sebagai bentuk terbaik dalam memberikan pelayanan pendidikan yang prima. Dengan kata lain, alasan keberadaan BHP tidak dijelaskan secara pokok dan meluas. Hal ini menguatkan kesan bahwa penyusunan BHP tidak secara integral dan mendalam.

Kontra-kontra yang terjadi kebanyakan berasal dari masyarakat menengah kebawah, karena akan membawa pendidikan sebagai suatu komoditas yang mahal dan membuka penanaman modal asing untuk pendidikan di Indonesia.

Masalah penyelewengan dana dan ketidakmampuan dalam membayar , yang paling banyak menjadi kontra. Bila ditinjau lebih dalam, rumusan RUU BHP sendiri sebenarnya menekankan sistem pembiayaan yang adil antara yang mampu dan tidak mampu bukan pemerataan pembiayaan. Karena dalam penyelenggaraannya tak adil jika yang mampu sama dengan yang tidak mampu dalam hal pembiayaan. Yang kaya atau mampu, membayarkan biaya operasional sesuai dengan yang telah ditetapkan, sedangkan yang kurang mampu nantinya akan mendapatkan beasiswa. Jadi, yang mampu akan membayar pendidikan dengan mahal, tetapi yang tidak mampu dijamin untuk tetap bisa kuliah.

Meskipun demikian, persoalan BHP ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, banyak alasan lain yang membuat RUU BHP ini sulit disahkan.

Ya! Meskipun dapat dikatakan “baik”, penyelenggaraan RUU BHP ini menimbulkan banyak sisi negatifnya bagi kalangan mahasiswa, diantaranya, BHP ini akan membuat biaya pendidikan semakin mahal, karena dana pendidikan dari pemerintah dikurangi jumlahnya, akan adanya usaha kampus untuk menutupi dana tersebut dengan mengadakan Ujian Mandiri (UM). Ujian Mandiri dinilai dapat menutupi biaya pendidikan karena calon mahasiswa yang mendaftar akan dikenakan biaya yang cukup mahal sehingga jangan heran jika suatu saat pendidikan di Indonesia hanya diperuntukkan oleh orang-orang kaya saja.

Dampak negatif lainnya adalah ketika suatu kampus yang awalnya begitu tunduk dalam suatu aturan dari pemerintah kemudian diberi kebebasan maka seakan-akan muncul suatu euphoria. Misalnya, aset-aset kampus bukan diberdayakan untuk pendidikan, malah nantinya dijadikan sebagai ladang bisnis. Kebanyakan mahasiswa sendiri menilai BHP memang ingin menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis!

Selain itu, kontra yang ditimbulkan kebanyakan dari kalangan mahasiswa. Jika saja BHP ini diberlakukan maka kemungkinan kenaikan SPP akan terjadi, karena kampus telah berubah menjadi badan yang otonom. Jika pengelola institusinya bagus dan memiliki komitmen untuk tidak akan membebani mahasiswa maka itu tidak jadi masalah. Apabila kenaikan SPP benar-benar terjadi, kemungkinan akan ada mahasiswa yang kurang mampu yang di-drop out dari kampus. Dengan diberlakukannya BHP maka pendidikan hanya akan berlaku bagi orang yang memiliki uang saja.

Pendidikan bagus membutuhkan biaya yang tinggi memang fakta, hal ini terjadi karena dana yang diberikan pemerintah untuk pendidikan banyak yang tidak tersalurkan atau bisa dibilang dikorupsi! Jika saja BHP ini benar terbentuk, mahasiswa menuntut tidak ada penyimpangan dan kecurangan dalam kerjanya. Sebaliknya jika BHP tersebut tidak bekerja dengan benar serta banyak penyimpangan dan kecurangan maka mahasiswalah yang akan bertindak! dalam arti menuntut kinerja yang lebih baik dari BHP.

Suatu hal yang wajar jika suatu kebijakan dari pemerintah diwarnai kritikan oleh mahasiswa, terlebih lagi kebijakan tersebut mengenai pendidikan yang dampaknya langsung dirasakan oleh mahasiswa. Apapun keputusannya, disahkan atau tidak BHP ini, sebagai mahasiswa harus dapat menerima dan tetap kritis jika ada penyimpangan dan kecurangan dalam sistem BHP ini dengan menyalurkan aspirasi mereka ke lembaga terkait secara damai tanpa tindakan anarkis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar