Blog
ini ditujukan hanyalah untuk berbagi..
berbagi hal yang belum sempat terucapkan lewat kata-kata dan tertumpahkan dengan tulisan,,

Memulai jejak dalam sebuah tulisan.
Menorehkan tinta sejarah hingga ia dikenal nyata.

Sejarah kehidupan dalam sebuah bingkai.
Melompati setiap ekstase dengan semangat menyala.

Walau terkadang lampu - lampu jalanan turut menghiasi medan menuju setiap tahap kemenangan, pengharapan dan sebuah pembelajaran tentang Kebijaksanaan.

Semua tertuang untuk sebuah cerita.
Cerita hidup yang aku, kau dan kita adalah pelaku setianya.
Hingga kemudian Cahaya gemilang itu mampu kau renggut, kau peluk dengan tanganmu.

Sabtu, 23 Juli 2011

Dahsyatnya Otak Miring


(Sstttt…hati-hati efeknya! bisa cenat-cenut..hahaa)

Sebuah Cerita...GeJe:p

“Don, gua rasa. Elu aja deh yang pergi mata-matain Laksmi ke Bandung.. Gua ada proyek yang mesti gua selesaikan boy..” Bo’in meyakinkan Doni dengan mengerjapkan matanya seperti boneka alay.

“Apa!!?? Enak aja lu nyuruh gua mata-matain cewek elu, lagian Laksmi pan bukan cewek elu tuh, Cuma lu nya aja yang ngaku-ngaku..! ckckck...hmm,,Emangnye ada proyek apa lu! Gaya bener..paling proyek nyabutin uban jenggot eyang elu pan!hahaaa” gayung bersambut, Doni tak mau kalah.

“enak aje lu! Emangnya gua apaan!? Bukannye nyabutin uban jenggot eyang gua. Tapi uban ketiaknye tau!”

“hahaaa… sama aja kale booon!!!, bahkan lebih parah tuch...kesiaaan dee!!” dengan lentiknya bak penari gurun sahara, jari telunjuk Doni meliuk-liuk dari atas sampe ke bawah.

“tuh, ngertiin gua donk, yee,yee Don,,pliiiiisss….lu emang temen gua yang baeeek banget sepanjang sejarah yang kita pelajarin SMA kemaren”

“emang ya, omongan lu tuh rada gak jelas mulu! Masa disamain ma sejarah SMA!! Hm,,gimana ya??” Doni memutar-mutar jari telunjuknya dihidung, memutuskan sesuatu yang sangat genting bagi masa depannya.

“pliieeeessssss!!” rayu Bo’in yang memasang tampang lugu bin kasihan.

Doni pun menatap Bo’in, tetapi matanya tidak bergerak sedikitpun. Pletak! Perpaduan antara telunjuk dan jempol Doni merayap di kepalanya Bo’in.

“boy! Melamun aje…okay de! Kali ini gua setuju-setuju aje.. sekalian ada si Mira temennya Laksmi yang aduhai manisnye..hee” Doni cengengesan.

“huuuu… ada Mira aja, semangat lu! bagus deh, jadi seenggaknya gua bisa nyante dulu..” Bo’in bersiul-siul kegirangan, lantas meninggalkan Doni mematung sendirian di bawah pohon salak tanpa pamit dan kata-kata perpisahan.

“Bo’iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin!!!”

***

Bo’in kecapean gara-gara diminta nyabutin uban diketiak eyangnya. Sebenarnya bukan kecapean karena nyabutin uban, tapi karena tak tahan baunya. Na’udzubillahimindzalik de, hehee.

Busyeeet,bau banget!!, Pekik Bo’in dalam hati.

“yang..eyang…udahan donk. Yee. Kagak nahan nih!” Bo’in merajuk sesenggukan karena tak tahan.

“ape!! Lu mau berhenti!? Kagak bise. Enak aje lu, maen berenti-berenti aje. Dipotong gajinye mau!?” eyang Bo’in nyengir lebar, selebar kuda peliharaannya.

“jangaaaan..iye…iye..hiks..hiks…” Bo’in menitikkan airmata kadalnya. Buaya kegedean untuk standar Bo’in yang lugu. Gubrak! hahaa.

Bo’in merasa teraniaya. Setiap diminta berhenti, eyangnya selalu mengancam tidak akan menggajinya. Yang ada jika merajuknya Bo’in tambah kenceng, Bo’in malah disuruh berdoa. Karena menurut eyangnya, doa orang teraniaya itu cepat dikabulkan. Parahnya, eyangnya Bo’in nitip doa sama si Bo’in, biar tambah kaya dan bisa bikin bo’in selalu teraniaya, biar doany cepat terkabul.hee. Eyangnya merasa menang karena Bo’in hanya mengandalkan eyangnya yang kaya raya setiap minta uang. Padahal usianya sudah baligh untuk mencari penghasilan sendiri. Lantas dalam pikiran Bo’in bahwa eyangnya sudah benar-benar gila.

Termasuk kekayaan yang eyangnya peroleh, itu juga karena kegilaan eyangnya. Masa-masa muda penuh bunga, yang seharusnya dipakai buat hura-hura dan pacaran ria, justru dipakai eyangnya buat mencari penghasilan sendiri. Segala pekerjaan eyangnya coba, mulai dari cleaning service, nganterin minuman, sedot wc, sapu jalan, bersihin kandang sapi, bahkan ngumpulin sampahpun pernah(baca:pemulung). Katanya sih, begitu caranya mencari jati diri. Sampai usahanya yang gigih itu membuat ia punya ide buat punya rumah makan, walau sempat gagal, karena tidak sesuai dengan judul. Judulnya rumah makan Padang, tapi masakannya asli masakan Jawa. ckckck.hehe.

Dari kegagalannya, eyang Bo’in mencoba segala usaha, sampai kepada kisah cintanya yang justru bikin eyangnya kaya raya. Jatuh cinta pada anak seorang pemilik Dealer motor ternama, lantas mendapat tantangan dari calon mertua harus menjadi pemilik / pengusaha kendaraan lebih dari roda dua. Eyang yang punya segudang ide gila membuat mertuanya kemudian menyerah, karena eyangnya berhasil menjadi pengusaha angkutan roda tiga alias bajaj! Tetapi dua tahun kemudian, eyangnya berhasil memegang pasaran pengusaha roda empat. Ckckck. Hebat euy! Beda banget tuh sama si Bo’in.hehee.

***

Hari ini Bo’in bergegas ngabur dari kediamannya. Biarpun ia tinggal dengan eyangnya yang kaya raya, tetapi kemana-mana Bo’in harus pergi jalan kaki atau paling mewah naik angkot atau bus. Gaji nyabutin uban Bo’in bawa untuk bekalnya diperjalanan. Bo’in yang lugu sengaja pergi seorang diri, ia tidak mau proyeknya ketahuan sama teman-temannya yang lain. Sebenarnya proyek nyabutin uban hanya jadi alasan, kepergiannya saat ini adalah proyeknya yang sungguhan.

Bo’in melompat-lompat kegirangan sesampainya di Monas alias Monumen Nasional. Ia jungkir balik tak karuan di rumput-rumput hijau. Petugas kebersihan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya yang aneh.

“enyaaaaak….babe!!! aye..eh, gua… akhirnya, untuk keseratus kalinya ada di Monas!! Rekor! Seratuuuuus!!huuuu....hahaaa” Bo’in mengangkat kedua tangannya saling-silang dan tertawa bak pahlawan bertopeng dalam kartun sinchan.

Bo’in pun berlari sekencang-kencangnya ke dalam tugu Monas. Uang recehan dalam sakunya seakan-akan ikut menyenandungkan kegembiraannya dengan mengalunkan lagu krincing,,krinciing.

Bo’in senang bukan main saat berada diatas tugu Monas. Bukan diterasnya lho, tapi bener-bener di tugu emasnya! Bo’in nekat naik karena nazarnya jika sudah sampai kunjungannya yang ke seratus, maka ia akan naik Tugu emasnya Monas. Dengan gaya seorang kesatria ia melambai-lambaikan selendang alias gorden kamarnya yang ia ikatkan di lehernya. Tangannya melambai-lambai kebawah seolah-olah ada begitu banyak fans yang mengagumi aksinya. Sedangkan orang-orang yang sedang berfoto-foto ria di pelataran Monas menangis, lantaran fotonya dirusak oleh sesosok makhluk aneh yang sedang menggantung-gantung tak jelas di puncak Monas. ckck. Kasihan..hihi

Waktu terus bergulir, malam tiba, inilah waktu yang sangat ditunggu-tunggu Bo’in. Ia berharap ada rembulan besar yang mengiringi aksinya. Bulan yang dinanti-nanti pun akhirnya tiba. Ia senang bukan main.

“man, gua sekarang ada di puncak Monas. Kagak nyangka man!! Hahahaa” lagi-lagi Bo’in bergaya bak pahlawan bertopeng. Tapi kemudian,

“eh, tadi gua kan naek keatas lewat lift tuh. Terus sekarang kan udah malem, liftnya dah ditutup... Emaaak..gimane caranya gua turuun.. tolong…!!” pekik Bo’in yang hanya mampu didengar oleh dedaunan, angin, yang kemudian angin membawa suaranya kejalan-jalan ibu kota, melewati kolong jembatan, menyusuri kali, dan tiba dirumah eyangnya, sampai pada kuping eyangnya.

Eyangnya yang sedang asyik-asyiknya dzikir, walaupun gila tapi taat juga eyangnya Bo’in. Kaget lantaran ada suara-suara halus mampir ke telinganya. Eyangnya takut kalau-kalau itu suara setan yang mau menghasut-hasutnya. Tapi lama kelamaan suaranya makin jelas. Maklum indera kedua belas eyangnya jalan semua, fiarasatnya kuat apalagi mengenai cucu satu-satunya.

“Bo’in..Bo’in..lu lagi..lu lagi.” Eyangnya berangkat dari singgasana ibadahnya. Ia lalu bergegas menelepon saluran gawat darurat, niatnya sih ingin menelepon pemadam kebakaran, biar bisa dipinjamkan tangganya. Tapi eyangnya justru salah sambung dan menelpon ke Rumah Sakit Jiwa, tanpa disadari olehnya.

***

Sudah tiga bulan Bo’in di RSJ, eyangnya yang merasa bersalah dengan Bo’in menjenguknya setiap hari dengan membawakan barang-barang kesukaannya. Sebenarnya eyangnya sudah sejak dua hari setelah ketahuan kalau Bo’in masuk RSJ mengusahakan agar cucunya dikeluarkan. Tapi pihak rumah sakitnya yang tidak mau, takut buat onar dimasyarakat katanya. Ternyata pihak rumah sakit menganggap bahwa Bo’in sudah benar-benar gila. Kasihan Bo’in.

Enam bulan di RSJ, Bo’in justru merasa seperti orang yang gila sungguhan. Teman-temannya orang gila, tempat diskusi dan curhatnya orang gila. Semua yang ia hadapi adalah orang-orang gila. Tetapi kalau mau keluar bisa dilakukannya dengan mudah, sejak dulu ia bisa berperilaku waras dan wajar kemudian dilepaskan dari RSJ. Tetapi sejak kunjungan eyangnya yang membawakan segala makanan kesukaannya, membuat Bo’in “sedikit” betah di RSJ. Sebenarnya bukan itu yang membuat ia betah, tetapi ia merasa di RSJ justru ia merasa bebas bergaul dengan siapa saja, ia merasa menjadi yang terbaik, orang waras diantara orang-orang yang tidak waras. Bo’in menemukan jiwanya disini. Ia belajar tentang orang-orang yang jatuh, gagal, stress hingga menjadi gila. Secara tidak langsung ia belajar tentang watak manusia gila yang tidak pernah diketahui orang waras kecuali dirinya.

Enam bulan lebih tiga minggu Bo’in di RSJ. Ia merasa sudah saatnya kembali pada dunia nyata dan kehidupan “waras”nya. Segala cara ia tempuh agar terlihat benar-benar waras. Dan genap tujuh bulan, Bo’in akhirnya dinyatakan sembuh total! Padahal sih memang waras dari awal, dasar Bo’innya saja pura-pura gila.

Tak disangka-sangka, Bo’in yang seolah lahir kembali menjadi orang berbeda ini punya keinginan untuk menulis sebuah buku tentang kehebatan cara kerja otak guna membuktikan kepada dokter, ners yg merawat ia selama di RSJ beserta eyangnya bahwa dirinya memang benar-benar waras dan tidak perlu dikucilkan lagi.

Hari ini Bo’in berkunjung ke toko buku paling lengkap dan paling besar yang ada di daerah Matraman, Jakarta Timur, untuk mencari ide dan inspirasi tentang judul buku yang akan ditulisnya itu. Ia pun kemudian berbincang-bincang dengan karyawan toko sembari mencari tahu tentang buku apa saja yang laku dan diminati konsumen.

Dengan gayanya yang sudah berbeda, ia memakai gaya bicara temannya sewaktu gila yang mantan dosen filsafat.

“Mas, apakah buku-buku tentang otak sudah banyak ditulis orang? Dan, apakah buku-buku tersebut banyak dibeli orang?” Tanya Bo’in.

“Oh, laku sekali dan sudah banyak penulis yang membahas topik tersebut,” jawab sang penjaga toko dengan ramahnya.

“ada buku Pintar Mind Map, Great Memory, Metode Melejitkan Daya Ingat, dan banyak judul buku menarik lainnya yang Best Seller,” ujar si penjaga toko.

“Kalau tentang otak kanan, apakah sudah ada yang menulis?” lanjut Bo’in seperti wartawan.

“Makoto Shichida sudah menulisnya dan diterjemahkan menjadi Mengungkap Misteri Otak Kanan,” jawab sang penjaga toko lagi.

“Kalau tentang otak kiri, apakah juga sudah ada yang menerbitkan?” Tanya Bo’in lebih lanjut.

“Lha, ini apa” jawab petugas toko sambil menunjuk sebuah buku yang berjudul Dahsyatnya Otak Kiri.

“Kalau otak tengah, apakah sudah ada yang membahasnya?”

“Itu, lihat saja sendiri di rak buku Best Seller,” kata penjaga toko sembari menunjuk kerarah rak bagian kanan.

“Otak kanan sudah, otak kiri sudah, otak tengah juga sudah. Kalau begitu otak apa lagi yang belum ditulis orang?” Tanya Bo’in penasaran dengan tampang lugunya.

Saking kesalnya si penjaga toko sama Bo’in, yang sejak tadi bertanya terus, maka ia pun menjawab dengan ngawur,

“Bikin aja buku tentang dahsyatnya otak miring mas! saya yakin pasti laku!,”

“Aha..! Akhirnya ketemu juga ide yang brilian!!,”teriak Bo’in dan kemudian pergi dengan wajah kegirangan.

Sementara sang penjaga toko buku hanya dapat geleng-geleng kepala dan mengelus dada. Tanpa pernah ia berpikir bahwa orang yang berbincang dengannya barusan akan sangat merepotkannya di kemudian hari karena bukunya yang Best Seller dan dicari banyak pengunjung toko bukunya.

~The end deh….^^V~


**cerita saya yg aneh ini pernah di bedah juga di sekret FLP OI trCinta..he



Tidak ada komentar:

Posting Komentar