Cinta adalah hal yang tak pernah habis dibahas. Bahkan dari lahirnya hingga kembalinya manusia ke dalam Bumi-Nya. Namun demikian, cinta pula yang telah memberkahi seorang Ibu mulia melahirkan sosok manusia-manusia hebat yang bagus lagi indah akhlaknya. Berkat cinta pula lah Allah menetapkan garis takdir dengan segenap usaha dan doa hamba-Nya.
Namun kali ini kita berbicara cinta dalam konteksnya kaum Adam terhadap Hawa. Bagaimana jika kemudian bentuk-bentuk cinta itu muncul dari dalam hati dan terlukis dengan kebaikan akhlak yang mencinta. Pada hakikatnya, ada beberapa hal yang membagi cinta sebagai sebuah rasa ke dalam berapa bentuk.
Berikut Imam
Ibnul Qayyim membagi cinta kepada
wanita dalam tiga bentuk.*
1. Mencintai wanita dengan maksud ketaatan dan taqarrub
kepada Allah.
Ini merupakan cinta
kepada istri dan budak wanita yang
dimiliki. Merupakan cinta yang
bermanfaat dan dapat mengantarkan
kepada tujuan yang disyariatkan Allah
dan pernikahan, dapat menahan
pandangan mata dan hati untuk
melirik wanita selain istrinya. Orang yang mencintai semacam ini dipuji di
sisi Allah dan di tengah manusia.
2. Cinta yang dibenci Allah
dan menjauhkan dari rahmat-Nya.
Cinta yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Demi cinta ini, seorang hamba mau melanggar syariat Allah. Cinta ini merupakan yang paling berbahaya bagi hamba, yang dapat mengancam agama dan dunianya.
Siapa yang memiliki cinta ini, dia hina di hadapan Allah, dia orang yang hatinya paling jauh dari Allah, dan cinta ini merupakan tabir penghalang antara dirinya dengan Allah. Untuk mengobatinya adalah dengan memohon per tolongan kepada Allah yang membolak-balikkan hati, bersungguh-sungguh untuk kembali kepada-Nya. Sibuk mengingat-Nya, menyibukkan diri dan mengganti cinta itu dengan cinta hanya pada-Nya. Memikirkan derita dan sengsara yang akan dialami lantaran cinta itu, dan menggambarkan keindahan sebenarnya dengan melupakan cinta itu.
Cinta yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Demi cinta ini, seorang hamba mau melanggar syariat Allah. Cinta ini merupakan yang paling berbahaya bagi hamba, yang dapat mengancam agama dan dunianya.
Siapa yang memiliki cinta ini, dia hina di hadapan Allah, dia orang yang hatinya paling jauh dari Allah, dan cinta ini merupakan tabir penghalang antara dirinya dengan Allah. Untuk mengobatinya adalah dengan memohon per tolongan kepada Allah yang membolak-balikkan hati, bersungguh-sungguh untuk kembali kepada-Nya. Sibuk mengingat-Nya, menyibukkan diri dan mengganti cinta itu dengan cinta hanya pada-Nya. Memikirkan derita dan sengsara yang akan dialami lantaran cinta itu, dan menggambarkan keindahan sebenarnya dengan melupakan cinta itu.
3. Cinta yang mubah.
Cinta yang seperti ini biasanya kerap sekali melanda para aktivis dakwah. Orang-orang yang berusaha menjaga hatinya namun kemudian terpikat pada pesona cinta yang tak mampu dihindarinya. Hanya Allah yang menjadi alasan baginya untuk tetap menjaga dan menyembunyikan hati pada sebaik-baik tempat sebelum benar-benar tiba kehalalannya.
Cinta
yang tiba-tiba datang, seperti
mencintai wanita cantik yang sifatnya
dikatakan kepadanya, atau dilihat dengan tak sengaja, lalu hati pun
tertambat padanya. Tapi cinta ini
tak sampai menjerumuskan dirinya hingga melakukan maksiat dan
kedurhakaan (seperti berhubungan
atau berpacaran dengan wanita itu). Yang ini tak menimbulkan siksaan.
Yang paling bermanfaat adalah
membuang jauh-jauh cinta ini dan menyibukkan diri dengan hal yang
lebih bermanfaat. Dan juga harus
menyembunyikan perasaannya, menjaga kehormatan dirinya dan orang yang dicintainya, serta
sabar dalam menghadapi ujian
cinta ini. Sehingga dengannya Allah memberinya pahala. Yang mesti
dilakukan adalah mengganti cintanya
itu dengan kesabaran karena Allah, tidak patuh pada bisikan nafsu dan
lebih mementingkan keridhaan Allah
dan apa yang ada di sisi-Nya.
Dari tiga bentuk cinta di atas, dapat dipahami bahwa seandainya
bara cinta itu -yang lahir karena
keindahan wajah seorang wanita mampu dipendam (bahkan diredam),
dan tidak melanjutkannya pada
tahapan yang melanggar syariat (seperti pacaran), kemudian bersabar
dan memohon ketabahan kepada
Allah, dan lebih Memilih keridhaan
Allah walau harus bertarung dengan
perasaan sendiri, maka ini yang
dibolehkan. Dan satu hal yang tak boleh terlupakan bagi seorang muslim,
bahwa Allah tak mungkin menyia-nyiakan
hamba-Nya yang lebih
memilih cinta dan kasih sayang-Nya,
meski harus merelakan sang kekasih
menjadi milik orang lain.
Mungkin dengan ujian cinta dan sikap kita yang
seperti itu (lebih memilih keridhaan
Allah), Allah ingin kita menjadi hamba pilihan yang kelak akan merasakan
indahnya bersanding dengan bidadari
nan menawan di jannah-Nya.
Andaikan memilih bentuk cinta
kedua, maka ini yang disebutkan
Imam Ibnul Qayyim, bahwa
permulaannya suatu yang ringan dan manis. Pertengahannya kekhawatiran,
kesibukan hati dan siksaan. Dan
kesudahannya adalah kebinasaan dan kematian.
Adapun bentuk cinta yang ketiga,
maka obatnya hanya dua. Pertama
berpuasa dan menyibukkan diri pada
hal yang mampu menjauhkan pikiran ke arah “sana”, dan jika puasa sudah
tak bisa untuk meredam gejolak cinta itu, maka tak ada jalan lain lagi selain
menikah.
“Menikah dengan wanita yang dicintai merupakan obat cinta yang
paling mujarab, yang dijadikan Allah
sebagai penawar yang sejalan dengan ketetapan syariat,” demikian Ibnul
Qayyim meyakinkan.
Cinta Tertinggi Hanya untuk
Allah dan Rasul-Nya Rasulullah SAW bersabda,
“Ada tiga perkara apabila terdapat pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. Ia menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya
daripada selain keduanya, ia mencintai
seseorang hanya karena Allah, ia sangat benci kembali pada kekufuran
sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam api.” (Riwayat Al-Bukhari
dan Muslim)
Karena itu, jika kita mencintai
seseorang, usahakan jangan sampai
melebihi cinta kita pada Allah dan
Rasul-Nya, agar cinta kita tidak
menggelincirkan diri kita dalam dosa.
Berbahagialah jiwa-jiwa yang senantiasa melabuhkan cintanya pada Allah dan karena Allah..
"Tidaklah dua orang saling mencintai kerana Allah, kecuali yang paling besar cintanya di antara keduanya adalah yang lebih mulia (HR Imam Bukhari)"
Wallahu'alam bishowab
Daftar Pustaka: *Majalah Fatawa
Vol.IV/No.01 | Muharram 1429 / Januari 2008
Vol.IV/No.01 | Muharram 1429 / Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar