Blog
ini ditujukan hanyalah untuk berbagi..
berbagi hal yang belum sempat terucapkan lewat kata-kata dan tertumpahkan dengan tulisan,,

Memulai jejak dalam sebuah tulisan.
Menorehkan tinta sejarah hingga ia dikenal nyata.

Sejarah kehidupan dalam sebuah bingkai.
Melompati setiap ekstase dengan semangat menyala.

Walau terkadang lampu - lampu jalanan turut menghiasi medan menuju setiap tahap kemenangan, pengharapan dan sebuah pembelajaran tentang Kebijaksanaan.

Semua tertuang untuk sebuah cerita.
Cerita hidup yang aku, kau dan kita adalah pelaku setianya.
Hingga kemudian Cahaya gemilang itu mampu kau renggut, kau peluk dengan tanganmu.

Rabu, 15 Juni 2011

Batu Kecil Jinan


Batu kecil itu menggelinding deras ke bawah kaki Jinan. Sedikit demi sedikit tanjakan landai ia lewati dan meninggalkan bekas tapak kakinya yang regang dan kecil. Sudah tiga jam ia berjalan menuju barak Israel, ke Chattah-Gilboa, penjara Israel yang sebagian besar menahan tahanan Palestina. Jinan melangkah landai dan agak berjingkat saat rumah tahanan itu mulai terlihat pandangan matanya.

Diliriknya sekeping roti yang ia bawa sebagai bekal perjalanan dari ibunya. Enam tahun adalah usia yang sangat mendukung untuk tidak menolak panggilan perutnya dan air liurnya yang mulai kering karena air minum yang ia bawa pun terbatas. Jinan kemudian memperhatikan sekelilingnya, melihat kalau-kalau ada tempat yang bisa dijadikan tempat untuk melepas dahaga dan mengobati perih perutnya yang mulai kelaparan. Dilihatnya sebuah pohon kurma yang sudah sedikit mengering dan berguguran daun-daunnya karena tidak dirawat pemiliknya. Entah ada atau tidak yang bertanggung jawab atas pohon serba manfaat itu. Beruntung Tuhan tetap menganugerahi berkahnya sehingga ia tetap menyisakan buahnya barang sedikit saja.

Kepingan roti itu ia cabik dengan tangannya yang kasat karena tergores tanah dan debu pasir saat mendaki tebing landai. Saban hampir roti itu masuk kemulutnya, seorang Ibu renta bercadar dengan bayinya yang terus-terusan menangis datang mendekat dan mulai melompat-lompat ingin meraih buah kurma yang tak mungkin diraih karena jaraknya yang terlalu tinggi.

“sabarlah anakku, Allah senantiasa mencintai hambaNya yang sabar..” ibu itu kemudian melompat lebih tinggi.

“sabarlah anakku, Allah senantiasa mencintai hambaNya yang sabar..” ibu itu pun melompat sekali lagi.

Begitulah seterusnya berulang-ulang. Hingga lompatan kelima, Jinan memanggil ibu itu dan menghentikan aksinya.

“Bu, hentikanlah. Cukupkah jika sekeping roti ini memenuhi perut ibu dan anak ibu?” Jinan mengulurkan tangannya dan memberikan roti yang hendak dimakan itu kepada mereka.

“tidakkah kau pun hendak makan juga wahai anakku?”

“tidak Bu, roti ini pantas dimakan oleh engkau dan anakmu. Insyaallah aku masih punya sedikit tenaga untuk meneruskan perjalananku. Ambillah… ” ujar Jinan seraya mengulurkan tangannya yang berisi roti.

“barakah Allah selalu padamu anakku..”

“oh ya, ini juga. Ambillah air ini Ibu. Kau dan anakmu akan sulit menelan tanpa seteguk air..” Jinan mengeluarkan semua persediaan air minumnya yang tinggal seperempat botol. Kemudian diserahkannya kepada ibu itu.

“Allah senantiasa melindungimu wahai anakku. Hendak kemana engkau pergi?”

“aku ingin menemui ayahku di Chattah-Gilboa..”

“penjara Israel itu?” ibu itu mengambil air minum dari tangan Jinan dan meminumkan pada anaknya.

“ya” Jinan menyeka keringatnya yang asin saat mengenai bibirnya.

“sungguh, ayahmu pasti orang yang selalu dirahmati Allah. Tidak ada yang masuk kedalam rumah siksaan itu kalau ia tidak benar-benar membela Islam..”

“Insyaallah..”

“penjara itu, tidak benar-benar memenjara orang sesuai dengan kesalahannya. Telah banyak yang ditahan dengan alasan yang mereka buat-buat dan terkadang tidak masuk akal.” Kepingan roti yang tadi dipegangnya ia cabik dan ia lumatkan dengan mulutnya, kemudian ia suapi kedalam mulut anaknya.

“begitulah ibu. Semoga Allah selalu memberkahi tanah perjuangan ini.”

“sungguh dewasa engkau anakku.. pergilah, doaku senantiasa menyertaimu..”

“Jazakallah Bu..” Jinan mengangkat tubuhnya yang mulai kehilangan keseimbangan karena dehidrasi, ia mengambil tas kecilnya yang membelakangi si ibu.

“oh ya, hendak kemana engkau wahai Ibu?” Jinan membalikkan tubuhnya hendak mengucapkan kata-kata perpisahan.

Tetapi ibu dan bayinya itu tak penah ia lihat lagi. Seakan-akan ditelan pasir yang menggunung. Jejak tapak kakinya pun tak nampak mata. Sekilas ia tak percaya, dicari-carinya ibu itu, di sekeliling pohon, diatas pohon, tetapi tetap tak ada. Setelah beberapa menit, ia pun lelah sendiri.

Jinan tersenyum simpul, ia sungguh tak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi kemudian ia memilih meneruskan perjalanannya kembali tanpa mengingat apa yang baru saja terjadi. Saat melihat perutnya yang mulai berbunyi, satu-satunya yang ia ingat hanyalah kata-kata pertama ibu itu “sabarlah anaku, Allah senantiasa mencintai hambaNya yang sabar..”

Tanjakkkan tandus berbatu menghentikan kelelahannya. Sebuah bangunan cukup luas bersekat-sekat, berpagar tegas, tinggi, dan berlapis kawat kini ada dihadapannya. Aroma kesakitan dan ketidakadilan mewarnai tempat ini. Batu kerikil berjatuhan saat Jinan menyeret kakinya kebawah tanjakan. Sepatunya mulai aus bagian bawahnya karena dua tahun ini selalu diajak berjalan dengan jarak yang jauh. Sekali lagi ia selalu menangkap pemandangan yang menyisakan jurang yang jelas dan nyata. Jurang kesakitan dari sekian banyak rakyatnya. Jurang yang menjadi saksi akan wajah-wajah syahid yang mati karena memperjuangkan bangsa dan agamanya.

Di pintu gerbang Jinan masuk seperti biasa, petugas yang berwajah tampan tapi menyimpan penuh kebencian dan kelicikan itu hanya melihat tanpa memperdulikannya. Hari ini memang jadwal ia biasa berkunjung menemui ayahnya. Dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengenal Jinan sebagai anak Palestina kebanyakan yang merindukan sosok seorang ayah dirumahnya.

“Ali, keluar! Anakmu yang dungu itu ingin melihat ayahnya yang selalu menyedihkan ini!ahahaahaa..” petugas penjaga ruang itu membuka pintu sel kamar Ali dan menariknya keluar.

Ali hanya melihat ke depan tanpa memperdulikan kata-katanya. Perkataan yang hampir selalu sama saat Jinan menjenguk ayahnya. Ia tak ingin ikut-ikutan menjadi pecundang dengan membalas omongan sang pecundang.

Lorong pekat dan gelap ia lalui dengan penyinaran seadanya. Dari cahaya matahari yang melintas lewat lubang-lubang kecil yang disebabkan karena dinding yang sudah banyak retak dan rusak dimakan usia. Rambutnya yang hitam kini sudah agak panjang, janggutnya ia biarkan terurai.

“sampai disini Ali. Seperti biasa, hanya 20 menit!” hardik petugas melepas ikatannya dan seketika itu Ali masuk keruang kunjungan menemui Jinan, anaknya.

Ali tak ingin terlihat kusut, seburuk apapun keadaannya di penjara ia ingin tetap terlihat baik dihadapan anaknya. Rambut dan jenggotnya ia rapikan dengan ujung-ujung jarinya yang mulai mengeras dan kasar.

Sosok anak kecil usia enam tahun yang terlihat dewasa karena tuntutan ketidakadilan dan penindasan di negaranya. Jinan mengenakan pakaian mantel abu-abu dan celana panjang coklat muda. Ia terlihat begitu gembira dan sumringah ketika melihat ayahnya menarik kursi dan duduk dihadapannya. Jinan sangat bahagia, walaupun tak dapat memeluknya karena terhalang dinding kaca, tapi setidaknya rindunya dapat sedikit terobati karena masih bisa melihat wajah ayahnya yang selalu tersenyum dihadapannya.

Jinan kecil tapi berjiwa besar ini hanya mampu menatap wajah ayahnya selama lima menit, kemudian baru ia bercakap-cakap lewat telepon dengan ayahnya mengenai keadaan keluarganya dan perjuangan rakyat di Palestina. Tangannya yang kurus dan kecil ia silangkan di atas meja. Menatap wajah ayahnya lekat-lekat. Ada guratan kegembiraan di mata Jinan. Guratan kesenangan karena ayahnya telah berjuang dan memberikan yang terbaik bagi bangsanya.

Ali pun hanya dapat menatap wajah anaknya. Selalu setiap dua minggu sekali selama lima menit mereka melakukan hal yang sama. Pipi Ali basah, matanya yang semampunya ia tahan untuk tidak menangis tak dapat membohongi hatinya. Ada rasa kepedihan, kesakitan, dan juga haru yang bercampur saat ia melihat Jinan. Wajah tampan dan lugu itu harus dibalut keriput kedewasaan karena kondisi yang menuntutnya. Mata Ali semakin panas, air hangat yang mengalir lewat matanya semakin deras, ia begitu mencintai putranya. Berat rasanya melihat Jinan harus menempuh jarak kiloan meter hanya untuk bertemu dengan ayahnya. Apalagi diusianya yang masih terbilang muda. Rasanya hanya Jinan pengunjung termuda di Chattah-Gilboa.

Biasanya di saat-saat seperti ini Jinan memberi isyarat pada ayahnya. Ia melambai-lambaikan tangan kanannya, pertanda ayahnya disuruh mendekat kearahnya. Ali pun spontan menempelkan wajahnya ke berkas kaca yang tebal. Jinan mengulurkan tangannya ke kaca, seakan-akan menghapus airmata ayahnya, ia pun mengelap-ngelap kaca seperti hendak berkata pada ayahnya “sudah ayah, jangan menangis. Kau tak ingin kan melihat aku juga menangisimu?”.

Jinan menciumi kaca seakan ia menciumi pipi dan kening ayahnya. Sentuhan yang tak pernah tersampaikan selama dua tahun. Kasih sayang yang tak pernah tertumpah ketika ia menemui ayahnya. Setiap waktu kunjungan Ali hanya mampu menyentuh ujung-ujung jari anaknya lewat lubang kecil selebar kelingking.

Hati Ali begitu sesak dan tak tertahankan setiap melihat senyum lugu Jinan. Jinan selalu sumringah setiap menemui ayahnya, tak pernah ada guratan kesedihan dari wajahnya. Walau begitu Ali tetap mempertahankan senyumannya. Senyuman yang membuat Jinan yakin bahwa ayahnya baik-baik saja.

***

Jinan melanjutkan perjalanannya. Setiap melintasi jalan menuju rumahnya ia selalu melihat pemandangan yang sudah teramat biasanya baginya. Sore itu, saat hampir sampai dibelokan rumahnya, Jinan melihat seorang tentara Israel menodongkan senapan laras panjang pada seorang bayi yang sedang digendong ibunya. Seperti bukan manusia ia melihat bayi itu, bahkan sangat bernafsu ingin menembaknya. Ibu sang bayi dengan segala kemampuannya mendorong-dorong dan menghalang-halangi senapan sang tentara Israel dengan sumpah serapahnya terhadap kaum biadab yang tak tanggung kekejamannya.

“laknat Allah wahai biadab! Nerakalah tempatmu!” berulang-ulang wanita itu menyumpahi tentara Israel itu, tetapi ia hanya tertawa dan semakin menodongkan senapannya.

Jinan mengambil batu-batu kecil yang ia simpan dalam kantong kain yang ia kumpulkan selama perjalanan pulang selepas mengunjungi ayahnya. Ia tahu, bahwa kejadian seperti ini akan sangat sering ia temui, tank-tank yang berseliweran di jalan-jalan Palestina, tentara-tentara Israel yang menakut-nakuti anak-anak kecil tak berdosa, bunyi dentuman demi dentuman bom tak nyasar yang selalu dilayangkan Negara tak tahu malu itu!

Jinan melihat kesebuah drum besar dipinggir jalan kota, tepat beberapa meter dibelakang wanita itu berdiri. Jinan pun berlari sembunyi dibalik drum besar itu. Ia mengumpulkan batu-batu kecil yang ia bawa banyak-banyak kemudian melemparkannya ke arah tentara Israel itu.

“pletak!!” batu yang agak besar mengenai kepala tentara Israel.

“syiitth!! Hoooi!!, siapa yang berani-beraninya melempari kepalaku dengan batu! Cepat keluar!! Ooohh..aku tahu! Anak-anak yang tak diuntung itu lagi kan!!..”

Kemudian saat tentara itu lenga dan mencari-cari Jinan, wanita itu paham dan langsung berlari, mengamankan diri dan bayinya.

“cetar! Torr! Tor!” senapan yang dipegangnya untuk menakut-nakuti kemudian ia tembakkan kesegala arah. Tetapi hening dan tak ada tanda-tanda. Hanya suara kaleng drum yang berderik karena tertembak senapan tentara Israel tadi.

“sial!! Wanita bodoh itu pergi! Kau! Yang sembunyi dan melempariku tadi. Aku berjanji akan menghabisimu! Syith!!” tentara itu pun pergi dengan terus menyebut sumpah serapah terhadap anak kecil yang melemparinya dengan batu.

Jinan, tak berdaya. Sebutir peluru panas menembus tulangnya. Tangannya bersimbah darah. Bajunya kini berlumur keringat merah. Wajah putihnya semakin putih pucat, tangannya yang menyekap mulutnya agar menahan sakit tak besuara kini terlepas, terkulai tak berdaya. Matanya yang selalu memancarkan kegigihan perjuangan itu kini menutup secara perlahan. Air mata mengalir dipipinya, menahan rasa sakit yang teramat menyiksa. Bibirnya terangkat, ia tersenyum. Ia bahagia, telah menyelamatkan dua nyawa. Walaupun harus ditebus dengan nyawanya. Kemudian ia mulai merasakan dunianya gelap. Segelap negerinya ketika malam, yang kemudian hanya disinari dengan cahaya meteor-meteor buatan manusia.

***

Jinan, terbaring lemah. Ibunya tak henti-henti memeluk dan menciuminya. Dua orang adiknya yang berumur empat dan dua tahun menangisi kepergian kakaknya. Teman-temannya mengelilingi tubuhnya yang mulai kaku. Guratan kesedihan akan Jinan, tangisan kepedihan akan penindasan tak berujung mewarnai wajah-wajah lain seperti Jinan. Penantian panjang akan pembelaan saudara seiman. Semua terlukis di wajah Jinan saat itu. Wajahnya pucat tak berdaya, tapi masih menyisakan seberkas senyum dibibirnya.

Mushab yang ia simpan diotaknya kini harus digantikan oleh kader-kader baru seperti dirinya. Jinan menghembuskan nafas terakhir karena peluru panas yang mengenai jantungnya. Jinan, syahid fisabilillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar