Malam
ini hujan turun dengan kadarnya yang sedikit, seperti gerimis namun lebih lama.
Hujan seperti biasa, mampu menyihir hatiku untuk terus memanjatkan doa. Di
tengah ketenangan hati dan kejernihan pikiran maka aku mencoba untuk
menghilangkan penatku dengan berkumpul bersama sahabat-sahabat di kosanku.
Walaupun hanya dengan mendengarkan,
namun rasanya sangat menyenangkan dapat mengetahui cerita mereka lebih dalam
ibarat menjelajah kedalam setiap cerita kehidupan dan menemukan banyak sekali
pengalaman disana. Menimbulkan banyak inspirasi! Ya inspirasi dari
cerita-cerita mereka.
Dimulai dari
obrolan sana-sini sampai kepada mengingat masa-masa awal mengenakan hijab,
sulitnya dan saat memperjuangkannya.
“waktu itu aku
kelas 2 SMA, teman sebangkuku ternyata seorang yang berjilbab lebar, ia sering
menyebut dirinya dan teman-temannya dengan sebutan akhwat, ya, tutur ia padaku
kala itu. Aku yang cenderung tertutup dan pendiam, diam-diam kagum dengan sikapnya yang
sopan dan berakhlak paripurna. Memang ia tetaplah temanku yang biasa, namun
pribadinya sungguh luar biasa. Ia pun sering mengajakku pada kegiatan rohis,
mengaji, dan kegiatan positif lainnya. Hingga kemudian pesonanya mampu
membuatku terbujuk untuk menyamakan styleku dengannya. Aku ingin berhijab,
menjilbabi tubuhku dan diriku. Bukan karena dia, tapi karena Islam dan Allah
yang semakin ku kenal lewat perantara ia.”
“hmmmh...”
sahabatku yang pertama ini mencoba mengatur nafas untuk tetap melanjutkan
ceritanya yang terlihat begitu berkesan dihatinya.
“aku pun mulai
mengutarakan keinginanku pada kedua orang tuaku. Mereka awalnya menolak, mereka
bilang bahwa sangat tanggung waktunya jika aku mengenakan jilbab sekarang.
Mereka ingin agar aku mengenakan jilbab selulusnya aku dari SMA..”
“aku sempat
ngambek-ngambekan dengan orang tuaku. Akhirnya aku ceritakan masalahku ini
kepada kakakku. Subhanallah, ia adalah orang pertama di rumahku yang
mendukungku untuk mengenakan hijab. Ia pun memberikan uang hasil jerih payahnya
padaku untuk menjahit baju sekolah panjang. Aku membutuhkan waktu 1 minggu untuk menunggu jahitan baju, sampai-sampai
saat hari pemakaian baju pramuka aku pun memaksa untuk sesegera mungkin
mengambilnya pada sore sebelum hari pemakaian baju pramuka. Yah begitulah,
semua terkesan serba memaksakan. Nah, pernah juga waktu itu ibuku menemaniku ke
pasar mencari jilbab lebar. Ya, dulu kan sulit sekali ya dan jarang ada yang
jual, jadi sempat keliling-keliling dulu. Saat lagi di pertengahan jalan, kami
bertemu dengan teman ibuku, beliau nanya gini,
Wah ibu, mau
kemana bu, ada yang dicari ya?
Iya nih, anakku
mau cari jilbab lebar, haduh dimana juga ini..
Jawaban ibuku
waktu itu dengan nada yang tidak setuju dan agak ketus, tapi dijawab lagi sama
temen ibu gini,
Lho bagus kan
bu, dari pada dia kepengennya cari rok mini.
Ibuku langsung
terdiam. Yah, ada benarnya juga, mungkin dibenak beliau begitu kala itu.
Aku pun langsung
bersyukur dalam hati, dan saat mengenakan hijab pertamaku, kalian tahu rasanya
bagaimana. Aku merasa menjadi orang yang benar-benar merdeka, justru disaat
seperti inilah aku merasakan hawa kebebasanku. Ibarat hati yang telah lama
gersang baru disiram air segar dan menyegarkan.”
Antusias ia
melanjutkan ceritanya, aku pun ikut-ikutan melebarkan mataku dan
mengangguk-angguk setuju.
“yah, begitulah
cerita awal hijabku yang penuh dengan unsur paksaan dan ngambekan.hehe”
Ujarnya
terkekeh.
Kemudian
ada lagi cerita sahabatku yang mengenakan hijab dengan alasan ia telah bernazar
karena mendapatkan juara pertama di kelas selama 3 tahun berturut-turut. Sama
seperti orang tua temanku sebelumnya, mereka tak mengizinkan anaknya berjilbab
karena alasan nanggung. Nanti saja, kalau sudah lulus, atau bisa jadi jika ‘kalau’nya diteruskan akhirnya baru diizinkan saat
sudah menikah dan punya anak. Namun karena ia mengatakan bahwa itu adalah
sebuah nazar dan menjadi kewajiban yang harus segera ditunaikan, maka orang
tuanya pun menyetujuinya, kami bertiga pun tertawa pelan, nazar seolah menjadi
hal yang paling urgent, tanpa
mengingat bahwa berhijab juga merupakan hal yang paling urgent, tentang ketaatan kita terhadap Tuhan,
Allah SWT.
Kalau
dibanding-bandingkan lagi dengan ceritaku, aku tak menemui banyak kesulitan
untuk mengenakan hijab. Niatku sudah sejak SMP, namun karena pergaulan, aku tak
memandang jilbab sebagai sebuah kewajiban, dan saat di SMA, niat itu pun
kembali subur saat aku diperkenalkan dengan Rohis. Ayahku adalah orang yang
paham agama, namun ia pun memberikan kebebasan bagi anak gadisnya untuk memilih
jalan hidup meski ia turut mengambil peran sebagai penasehat dan pemberi contoh
terbaik. Di antara ketiga anak gadisnya saat ini, tinggal kakak perempuan sulungku yang
sudah menikah belum mengenakan hijabnya. Aku selalau berdoa untuk kebaikan
baginya dan agar Allah memudahkan langkahnya untuk menunaikan kewajiban Allah
yang satu ini. Aamiin.
Big Note
Banyak sekali cerita-cerita diluar sana yang
lebih dahsyat sulitnya saat ia mempertahankan hijabnya. Cerita sahabatku ini
hanyalah salah satu dari sekian banyak cerita. Malam itu kudapatkan kembali
cara untuk bersyukur lebih dalam kepada-Nya. Aku pernah mendapatkan jatuh
bangun saat sedang berproses mencari jati diriku sebagai seorang Muslimah, yang
justru sering kali menyisakan luka perih dan itu membutuhkan kekuatan luar
biasa untuk bangkit kembali. Namun sekarang aku sangat bersyukur pada apa yang
Allah kehendaki kepadaku, bahwa segalanya memang butuh proses, disanalah kita belajar akan indahnya
kesabaran, keteguhan iman, kekuatan jiwa, kecintaan luar biasa kepada Rabb
kita, Allah.
Banyak yang mengira bahwa aku memang sudah
dari ‘lahir’ menjadi seorang muslimah dengan jilbab lebarnya. Namun layaknya
frekuensi detak jantung yang fluktuatif, dulu aku pun mempunyai masa-masa
terendah dalam iman. Saat SMP aku mengikuti kegiatan modern dance yang mengharuskan mengenakan baju yang serba mini,
karena alasan latihan, capek dan sebagainya, shalat pun maghrib yang paling
rajin, atau disaat moodku sedang sangat dan paling bagus-bagusnya, maka baru bisa full 5 waktu. Pernah di salah satu semester, rankingku menurun drastis dari 4
ke 11. Nilaiku memang tak menurun bahkan mengalami sedikit peningkatan, tetapi
yang kemudian kusadari adalah aku tak mampu mengejar ketertinggalanku dan
bersaing dengan teman-temanku yang lain. Memang orang tua tak pernah
mempermasalahkan, yang mereka harap hanyalah kebahagiaan jalan hidup yang
dipilih anak-anaknya.
Namun disinilah aku mengenal sahabat-sahabatku
semasa SMP. Sahabat yang kuanggap saudara, namun harus berjarak pada akhirnya karena salah orientasi dalam berkawan, dan dari sinilah awalnya kami membentuk sebuah
gank, kuakui memang gank kami termasuk yang bersaing dengan ‘gank-gank’ lainnya
untuk mereguk kepopuleran di sekolah, walaupun memang aku yang paling pendiam
dan ‘tak nampak’ di gank itu. Tapi pengaruhnya dapat kurasakan dengan jelas.
Aku bersyukur jika dulunya aku merupakan anak yang pendiam, penurut, dan tak
banyak tingkah, bahkan bisa dibilang super lugu (menurut teman-temanku). Jika diibaratkan dalam sebuah cerita sekelompok girl band, aku adalah tipe anak yang memakai kaca mata.
Jika saja dulu aku sedikit merubah gaya dan penampilanku, berusaha tampak hebat
dihadapan orang lain, maka mungkin tak ada cerita aku yang sekarang. Mungkin
saja not only ada pacarnya but also sering gonta-ganti atau sibuk pada fashion dan mode remaja masa kini.
Aku bersyukur dengan diamnya aku, dengan
lugunya aku (kata temen-temenku lho), Allah masih mengizinkanku
untuk terus berprestasi dan menyalurkan energiku kepada hal-hal yang positif. Siapa
bilang perjalanan dalam pertemananku berjalan mulus-mulus saja? Aku pernah
merasa dikhianati dan dicampakkan atau bahkan diacuhkan. Namun itu tak
menjadikanku pribadi yang minder dan rendah diri. Memang sulit pada awalnya,
berusaha untuk tetap tersenyum namun hati sangat sakit bagai teriris.
Selepas kejadian itu
aku justru belajar banyak hal, aku sama sekali tak membenci bahkan semakin mencintai
saudara-saudaraku dengan cara berbeda. Memang aku tak mengambil banyak kembali
tentang berkumpul dan banyak melakukan hal-hal bersama dalam pergaulan masa
kemarin, aku memutuskan untuk keluar dari gank itu secara halus, awalnya memang
sulit namun lama-lama saudaraku ini yang kemudian datang kembali menemuiku
meminta maaf dan mengajak bergabung kembali dalam kelompok modern dance kami
yang dulu. Awalnya aku ragu mengatakan hal ini dengan mereka, namun aku yakin
dibalik niat kebaikan yang tulus ada Allah yang akan menjadi penolong utama. Sembari
memberikan senyuman tulus persahabatanku pada mereka, kukatakan bahwa aku akan selalu
terbuka menerima mereka kapan saja bahkan memang sudah dari dulu kuanggap
sebagai saudara, tetapi aku tak dapat lagi berada dalam lingkaran itu lagi,
singkatku. Aku tak menduga mereka hanya tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa.
Keesokan harinya teman-teman yang dulu juga sempat tak baik hubungannya
denganku menjadi ramah dan rajin bertegur sapa denganku walau kemudian kami tak
lagi sama jalannya, ia jalan menuju jalan popularitas dihadapan manusia, saya
menuju jalan popularitas dihadapan Allah. Hehe. Memang IA-lah Maha
Pembolak-balik hati manusia. Disini kemudian aku temukan kembali hikmah, bahwa
Allah-lah satu-satunya tempat berharap dan meminta.
Aku tak semerta-merta kehilangan teman semenjak saat
itu, namun kutemukan lebih banyak lagi teman-teman yang dapat menginspirasi. Kuakui
kami memang terus bersaing, namun bersaing dalam hal-hal yang positif, saling
mendukung tetap sportif. Aku kemudian terus mengembangkan hobiku dalam bidang
tulis menulis dan melukis. Sering kali aku harus jatuh bangun, dan beberapa
kali mengikuti berbagai lomba lukis dan kaligrafi kemudian mendapat juara. Hingga
akhirnya aku sempat menjuarai lomba lukis tingkat provinsi kala itu. Saat itu
menulis hanya kulakoni di tingkat sekolah menengat pertama saja, belum cetar
bangets seperti di SMA nantinya. Hehe. Sesuatu yang kemudian saya pahami
kembali, bersungguh-sungguhlah maka kau akan dapat hasilnya. Kalo sekarang ada
buku+filmnya tuh. Ikonnya, Man jadda wajada, Man jadda wajada!! Ya, bukan yang
tajam, tapi yang bersungguh-sungguh.
Udah
4 page aja nih, hehe. Ya, begitulah kisah saya saat sedang berada di titik
terendah dalam iman. Namun apa yang kemudian membuat saya berubah? Saya pernah
teringat tentang kata-kata seorang bijak,
“jika
kau berada dalam titik terendahmu, tak ada jalan lain lagi selain naik keatas.”
Berkali-kali
aku bersyukur atas nikmat Allah yang luar biasa hadir kepadaku, satu lagi yang
kemudian saya pahami. Nikmat tak selalu berupa kesenangan, namun tentang segala
hal termasuk ujian yang dapat membuatmu semakin mendekat kepada-Nya.
Saya
sangat ingin menulis tentang kisah jatuh bangunnya saya saat SMA yang lebih
kompleks lagi dalam artikel ini, namun saya tidak ingin menjadi terlalu
terburu-buru, biar to be continued
aja. Hehe.
Tentang
kapan saya mulai mengenakan hijab, dimulai sejak saya naik kelas 2 SMA ß Just clue.
“yaa
muqollibal quluub, tsabit qolbi’aladdiinik”
“Wahai
Yang Maha Membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah kami pada agama-Mu”
--> catatan lama yang bersarang di laptop..