Blog
ini ditujukan hanyalah untuk berbagi..
berbagi hal yang belum sempat terucapkan lewat kata-kata dan tertumpahkan dengan tulisan,,

Memulai jejak dalam sebuah tulisan.
Menorehkan tinta sejarah hingga ia dikenal nyata.

Sejarah kehidupan dalam sebuah bingkai.
Melompati setiap ekstase dengan semangat menyala.

Walau terkadang lampu - lampu jalanan turut menghiasi medan menuju setiap tahap kemenangan, pengharapan dan sebuah pembelajaran tentang Kebijaksanaan.

Semua tertuang untuk sebuah cerita.
Cerita hidup yang aku, kau dan kita adalah pelaku setianya.
Hingga kemudian Cahaya gemilang itu mampu kau renggut, kau peluk dengan tanganmu.

Kamis, 12 April 2012

Sebuah Kontemplasi Hati



“ukhti, ana ingin menikah” pernyataan yang tidak biasanya dari sahabatku Azifah membuatku kaget, karena tidak biasanya ia membahas hal ini apalagi langsung mengutarakan keinginannya untuk menikah.
“ukhti, ana gak salah denger?” aku menekankan nada bicaraku, meyakinkan pernyataannya barusan.
“tidak ukh, ana ingin menikah, titik.” Azifah menatapku lekat, seolah yakin dengan keputusannya.
“iya, tapi kenapa ukh?”
“tidak ada yang salah kan jika ana ingin menikah?”
“ya tidak, tapi tiba-tiba saja anti mengatakan hal ini. Karena biasanya….” Belum selesai aku bicara, sudah dipotong duluan oleh Azifah.
“biasanya tidak mau membahas masalah ini? Ana punya alasan kuat ukhti. Insyaallah inilah pilihan terbaik yang harus ana ambil langkah segera!”
“hmmm…” aku tak dapat melanjutkan kata-kata, hanya dapat bergumam dalam hati. Karena aku mengerti karakter Azifah. Iya ya iya. Tidak ya tidak.


Belakangan baru aku tahu alasan pendukung bagi Azifah untuk memilih keputusan ini. Waktu itu aku tak sengaja mendengar “keterus terangan” yang tidak disengaja dari salah satu ikhwan yang juga aktif di organisasi kampus ini.
“eh itu ya yang namanya Azifah?”sebut kak Ezi, salah satu ikhwan yang aktif di kampus sambil melihat kearah Azifah yang sibuk memindahkan barang kesana kemari dalam sebuah acara yang organisasi kami selenggarakan.
“iya kak. Ada apa?”
“yang facebooknya Azifah Al’Ala itu?”
“iya, nge-friend kak ya?”
“belum sih…”
“lha kok tahu?”
“gak, kakak tahu aja dari temen-temen ikhwan. Sering disebut-sebut namanya kalo lagi ngomong soal nikah dan akhwa idam…..” kak Ezi memutus pembicaraannya. Seolah-olah menyadari kesalahannya karena terlalu jujur berbicara. Wajahnya merah, beristighfar dan pamit meninggalkanku.
“Ya Allah….” Gumamku pelan, aku tahu kata-kata yang tak jadi ia sebutkan adalah idaman. Azifah menjadi bahan pembicaraan di kalangan ikhwan “ah,,mungkinkah hal ini telah diketahui Azifah?..”


Malam ini bulan terlihat bulat dan begitu terang. Bintang-bintang pun seolah-olah tak ingin kalah menampakkan cahayanya. Balkon rumah kos-kosan adalah salah satu tempat favoritku dan Azifah berbagi hati dan cerita.
“Via, ana yakin anti tahu sekali dengan diri ana temasuk yang ana rasakan saat ini…” Azifah menatap bintang-bintang yang sedikit redup karena tertutup kabut awan.
“ukhti, ana yakin tidak sembarang bagi anti untuk mengambil keputusan ini. Karena ana mengenal anti sebagai sosok yang tegas dalam mengambil keputusan…” mataku melihat Azifah yang tetap memandangi bintang.
“ana tidak ingin ukhti, ana merasa malu dengan cerita dari teman-teman. Sudah berapa banyak teman-teman kita yang menceritakan bahwa ana sering disebut-sebut di kalangan ikhwan. Ana merasa rendah sekali sebagai seorang Muslimah. Ana benar-benar takut akan mempertanggungjawabkannya. Ana merasa belumlah baik dalam menjaga diri, menundukkan pandangan. Baik dalam segi hati ataupun interaksi jika hal-hal seperti ini terus melanda ana. Ana ingin sekali menjadi muslimah yang biasa-biasa saja namun besar rasa kecintaan pada Allah dan dakwah. Kadang ana sempat berpikir untuk vakum, mungkin beberapa hari untuk mengurangi keaktifan ana di dunia dakwah ini. Namun ketika ana ingat tujuan ana hanyalah Allah dan Ridho Allah, maka ini tak dapat dijadikan alasan. Ana sedih ukh jika segala sifat dan laku kesibukan ana kemudian menyakiti saudara sendiri dengan perasaan yang belum layak dilabuhkan. Ana mohon ampun sekali dengan Allah namun juga bersyukur memiliki saudari-saudari yang senantiasa mengingatkan kebaikan pada ana…” air mata Azifah menggenang di pelupuk matanya, ia tak tahan melanjutkan kata-katanya kembali. Kecintaan pada dakwah yang sangat besar membuat ia tak dapat mundur walau selangkah pun. Aku tahu Azifah adalah sosok muslimah anggun, sabar, penyayang, cerdas dan mempunyai visi. Maka tidak heran jika ada kemudian beberapa ikhwan yang menaruh hati padanya, bahkan sempat mengajak ia menikah secara terang-terangan. Tentunya Azifah tidak setuju, karena ia dan aku pun tahu bagaimana kesungguhan yang sebenarnya. Apalagi diutarakan melalui jejaring sosial. Ah, sungguh menyakitkan!
Aku tetap salut kepada Azifah sebagai sahabatnya, karena ia mampu mengondisikan hati dan ruhiyahnya hanya untuk kepentingan dakwah dimanapun ia aktif berorganisasi. Terpaan gossip dan mungkin fitnah tidak ia gubris, melainkan ia doakan agar semakin dikuatkan dan ditambah keyakinan akan janji-NYA pada hamab-NYA yang sabar. Karena pada suatu ketika tak sengaja aku mendengar curahan hatinya dalam ikhtilat cinta pada Sang Kholik disepertiga malamnya. 
***
 
“Subhanallah ukhti..anti cantik, benar-benar bersinar dengan gaun ini….” Ucap Azifah padaku. Ya, hari ini aku akan melangsungkan akadku pada seorang ikhwan lewat proses ta’aruf selama satu bulan yang lalu. Azifah merapikan gaunku, sedangkan anaknya Afiqah Aldiniyah merengek-rengek ingin menemui Abinya. Ya, Azifah sudah menikah lebih dulu dariku. Saat kami sedang disibukkan dengan persiapan untuk wisuda. Dua minggu saat setelah yudisium ia melangsungkan pernikahannya dengan seorang ikhwan cerdas, berbudi, lagi baik agamanya yang mampu membimbing dan menjaga kehormatan istrinya.

Aku bahagia, puasa hatiku dijawab Allah dengan nikmat-NYA. Nikmat tiada dua, ia datang disaat yang tepat dan dengan orang yang tepat pula.



Atas sebuah kontemplasi hati di perjalanan dakwah ini. Walau dalam kisah yang berbeda. Aku ingin kita sama-sama kuat dan dikuatkan kawan. Yakinlah akan janji-NYA.
Fastabiqul Khairat!!:D

Minggu, 08 April 2012

Azalia (Novel Azalia)

Awalnya searching-searching lagu-lagu nasyid terbaru. Nah ketemu lagu ini dan liriknya. Penasaran sama bunga Azalia, searching di google, ternyata emang cantik bunganya:D.. hm, Kabarnya bakalan ada novelnya juga nanti. Oke, kita tunggu aja ya novelnya " Azalia".. Liriknya simple tapi asyik.. cukup bikin bunga-bunga makin berbunga-bunga...ciah..check this..:)...

Kulihat bintang-bintang..

Tersenyum saksikan kau merekah..

Sang kumbang datang, hap, hap, hinggap perlahan..

Betapa merekah berkembang kembang..
 


Warnamu merah-merah..

Semerah danau di katumiri..

Aku melangkah tu, wa, ga, mendekati..

Betapa indahnya ku suka..
 


Reff :

Detik-detik waktuku kian berlalu..

Tak jemu aku memandangnya..

Detak-detak jantung ku berdenyut selalu.

Ku jatuh hati memetiknya..

Azalia kau bunga yang ku cinta..
by: Ali Ahmad Sastra Jumena



nih bunganya... Azalea Japonica..cantik kan:)

 

RUU Keadilan & Kesetaraan Gender. Solusi atau Masalah Baru?



Pro-kontra RUU ini sebenarnya sudah dirasakan sejak tahun 2010 lalu. Namun karena dalam membentuk Undang-undang diperlukan proses yang agak panjang, maka RUU ini belum masuk pada Prolegnas pada tahun 2010 lalu. Namun terlepas dari kapan ia mulai banyak dibincangkan, maka kita sendiri mesti paham dengan apa yang dibawa dan dibahas pada RUU ini.
RUU KKG alias Keadilan dan Kesetaraan Gender ini secara tersirat membahas mengenai pembatasan dan pemisahan kerja, kedudukan dalam hak individu, berkeluarga, dan bermasyarakat. Namun jika diperhatikan lagi kesalahan mendasar yang dapat ditangkap pertama sekali pada RUU KKG ini adalah dari pengertian akan gender itu sendiri. Dalam RUU KKG pengertian Gender adalah sebagai berikut, “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”
Jika dilihat dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa pembagian peran terhadap laki-laki dan perempuan ditentukan oleh budaya, dimana dapat dipertukarkan, sifatnya tidak tetap, dan mampu berubah seiring dengan trend zaman dan paham budaya yang mempengaruhinya. Tak ayal jika dengan adanya Undang-undang ini kelak maka adat ketimuran dapat tergantikan dengan seluas dan sebebasnya dengan adat Barat yang notabenenya berbeda pada khazanah ideology Negara Pancasila.
Sebenarnya dari judul juga adanya ketidak-sinkronisasian terhadap apa yang akan dicapai. Jika mengaitkan tentang kesetaraan gender, tentulah mesti adanya perbedaan juga persamaan yang jelas pada segi pembahasan. RUU ini pun dapat dikatakan cenderung seksisme. Dimana hanya terkhusus bagi kalangan perempuan saja. Ia tak lagi bersifat netral. Gender hanya dikhususkan untuk “membela” kepentingan kaum elitis perempuan. Ia tidak lagi dipahami sebagai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Konsep keadilan yang dibawa bukan terhadap laki-laki dan perempuan, melainkan hanya digunakan untuk memerangi ketidakadilan pada perempuan.
Terlepas dari pengkhususan pembahasan, yang ingin dicapai disini sesungguhnya adalah kesetaraan dan persamaan peran laki-laki dan perempuan dalam ranah publik. Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa “…perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% dalam hal keterwakilan di legislative, eksekutif, yudikatif dan berbagai lembaga pemerintahan nonkementerian, nonpemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional”. Hal ini tentulah menyiratkan bahwa perempuan “dipaksa” untuk menduduki kursi pemerintahan sekurang-kurangnya 30 %. Tentulah akan menjadi tidak sejalan dengan peran mendasar wanita sebagai tiang negara, sebagai pendidik, sebagai motivator terbaik bagi generasi penerus bangsa jika pada hakikatnya ruang public dipenuhi yang katanya kesamaan peran sedangkan rumah-rumah mereka kosong dengan kasih sayang dan didikan penuh orang tua.
Jadilah generasi yang kelak memisahkan antara kewajiban antara orang tua dan anak. Kehidupan akan menjadi sebebas-bebasnya. Anak memiliki hak prerogativenya sendiri dalam menentukan apa yang ia inginkan dan lakukan. Didikan akhlak bisa jadi dianggap sebagai pemaksaan dalam memilih hidup. Kehidupan bebas menggaung dimana-mana. Kehidupan bebas dan tidak adanya ikatan hati antara orang tua dan anak menyebabkan nasib kalangan wanita tua menjadi begitu malang. Ia akan ditinggalkan pasangannya karena dianggap tak menarik lagi, dan disaat yang bersamaan ditinggal pergi anaknya yang sibuk dengan urusan masing-masing. Inilah yang terjadi pada dunia saat ini, dimana panti jompo dipenuhi dengan wanita-wanita tua yang menghabiskan sisa umurnya tanpa kasih sayang dari anak-anak mereka.
Jika boleh melihat konsep hubungan antara orang tua dan anak, ibu khususnya dalam Islam. Maka kita akan menemukan sebuah aturan dan tatanan yang indah. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang sama terhadap kedua orang tua mereka. Menaati, menghormati dan menuruti perintah mereka selagi masih dalam koridor Allah. Bahkan dalam hadistnya, Rasulullah menyebutkan kata Ibu sampai tiga kali baru kemudian Ayah dalam hal siapa yang mesti ditaati terlebih dahulu. Anak-anak juga mesti memerlakukan kedua orang tua mereka dengan penuh hormat dan kasih sayang, serta mendoakan kedua orang tua mereka baik dalam keadaan hidup maupun meninggal dunia.
Melihat kepentingan yang tersirat dalam RUU KKG ini, jelaslah bahwa kaum feminis liberal memandang status seorang ibu rumah tangga sebagai status yang kuno, tidak modern, tertindas dan ketinggalan. Mereka memandang perempuan sebagai sosok yang mesti mengeksploitasi tubuh dan dirinya seluas-luasnya. Oleh karena itu, seorang perempuan feminis lebih rela mengaborsi kandungannya daripada menajdi seorang ibu. Lebih rela kehilangan ruh yang telah tertanam dalam rahim daripada tubuh indahnya. Centers for Disease Control menyebutkan bahwa tahun 200-2005 telah terjadi aborsi yang mencapai angka 850ribu. Ini baru data secara legal, belum yang illegal alias secara diam-diam.
Keinginan yang salah dan mudah dimanfaatkan dari perempuan yang tidak menginginkan status ke-Ibu-an pada dirinya, membuat bangsa kehilangan banyak generasi-generasi hebatnya. Tentunya ini tidak sejalan dengan pembangunan bangsa yang arif dan bermartabat di Negara yang menjunjung tinggi Kemanusiaan yang adil dan beradab ini.
Mengoreksi kembali pembahasan yang dibawakan oleh RUU KKG, mengapa kemudian tidak berfokus pada masalah peningkatan kesejahteraan perempuan saja. Seperti misalnya pemberantasan masalah Human Trafficking dan rehabilitasi kesehatan mental para korban, memperbanyak tersedianya ruang menyusui bagi ibu di mal-mal, terminal, tempat kerja, dan fasilitas public lainnya, memberikan cuti hamil dan melahirkan yang proposional dan sesuai dengan kebutuhan ibu, menyediakan persalinan yang aman, sehat dan mudah, dll (H. Shalahudin, 2012) dibandingkan dengan merombak peran dasar yang sudah diatur antara laki-laki dan perempuan dalam Islam.
Lihatlah para Ibu-ibu di Negara bagian Eropa tengah, mereka tidak tunduk dengan kepentingan perusahaan-perusahaan internasional yang beroperasi di negaranya. Disana mereka mendapatkan standar cuti hamil tiga tahun untuk setiap anak. Gaji selama masa cuti hamil dibayar dan ditanggung oleh majikan dan Negara (wikipedia/_parental-leave). Ya meski kemudian pembuatan kebijakan yang dirasa tak sebanding dengan Negara yang bergerak maju seperti Eropa dengan Negara kita yang dipenuhi dengan kasus-kasus pencurian uang Negara yang tak pernah selesai.
Dalam RUU KKG hanya dimasukkan asas kemanusiaan, persamaan substantive, nondiskriminatif, manfaat, pertisipatif, transparansi, dan akuntabilitas. Tanpa asas agama sekalipun. Maka bersiap-siaplah kita yang Muslim dipenjara Karena menjalankan syari’at Islam terkait dengan ketidaksamaan dalam masalah pembagian warisan, aqiqah, khatib Jum’at, menikah dengan yang seiman, saksi nikah, dll.
Tentunya harapan kita kemudian agar orang-orang yang dipilih, bukan dilotre diruang DPR RI itu, mengindahkan asas keTuhanan dan bangsa yang adil dan beradab. Benar-benar sadar dan membuka mata pada tujuan hidup yang tak hanya sebatas kenikmatan duniawi, namun juga pertanggungjawaban ukhrawi.  
Wallahu’alam bishowab.




Ruko Asy Syifa, Indralaya, 8 April 2012..

Rabu, 04 April 2012

Kisah Cinta Salman Al Farisi (Karena memang Cinta tak harus memiliki)

Berawal dari kegemaran blog walking, maka berhentilah disalah satu blog (blog adik saya, Siska Fitri) yang mengingatkan kembali pada saya tentang kisah seorang sahabat Rasulullah yang begitu mulia akhlaknya, Salman Al Farisi..
Ditengah banyaknya cerita-cerita yang hadir di tengah-tengah saya tentang sebuah rasa yang sedang bergejolak-gejolaknya, maka cerita ini sangat indah menjadi salah satu referensi terhadap keadaan hati.

__________________________

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.


Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.

”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai

beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi

isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyatasang ibu yang bicara mewakili  puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”



Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

??? ..................
_________________________________


Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.

Situasi yang melibatkan pikiran dan hati untuk memutuskan secara bersama. Jika Anis Matta mengatakan bahwa Cinta itu kemudian harus memiliki, maka konteksnya kembali pada keberanian dan status kehalalan. Karena segala cinta yang tiba pada saat yang belum halal merupakan cinta pengorbanan akan sebuah keberanian menghalalkan yang belum halal. Namun jika hati belum sanggup, terkadang rasionalitas pikiran juga perlu diajak berdisuksi. Ia akan menyakiti orang lain atau diri sendiri. Sejatinya karena cinta itu memang bentuk yang holistik, menyeluruh, ia yang mengindahkan Agama sebagai Rahmatan lil Alamin. Ia adalah keberanian atau keikhlasan. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan.

Sungguh indahnya Cinta itu. Ia mengenal saudara dengan  landasan cintanya kepada Allah. Ia mengenal hati juga keberaniannya dengan pertanggungjawaban mulia kepada Rabbnya.